Cerita Rasa, sebuah festival desa yang telah memasuki tahun ketiga, kembali digelar pada 12 Juli 2024. Tahun ini, festival tersebut berkolaborasi dengan Sinema Mikro Sanggar Bali Tersenyum, sebuah program literasi film dari Kemendikbud Ristek melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan. Cerita Rasa menyajikan dua film dokumenter yang mengangkat isu air dan hutan di Jembrana, yang menjadi sorotan utama layar tancap sekaligus menjadi benang merah program tahun ini.
Film dalam Cerita Rasa merupakan bagian yang tidak terpisahkan, sebagaimana tagline yang diusung yaitu storytelling, film, art & culture. Tahun ini, festival tersebut menampilkan dua film dokumenter yang sangat relevan dengan isu lingkungan setempat. Film pertama, berjudul "Hutan Terakhir" karya Wayan Martino, menggambarkan perjalanan Restu, seorang pengurus pemipaan air bersih untuk warga Yeh Embang Kauh. Film ini menggambarkan perjuangan mendapatkan air bersih dari dalam 'hutan terakhir' yang kini telah dirambah oleh masyarakat.
Dokumenter kedua, berjudul "Kita, Air dan Hutan", merekam cerita dari masyarakat desa Tukadaya tentang upaya mereka memperoleh air bersih dari dalam hutan. Film ini juga mengeksplorasi berbagai kendala yang dihadapi dalam pengelolaan perhutanan sosial di desa tersebut. Dokumenter ini merupakan hasil karya jurnalistik dalam program Anugerah Jurnalisme Warga Balebengong.id, dengan tim produksi yang terdiri dari Yurika Dewi, Komang Sutirtayasa, dan Made Suarbawa.
Kedua film ini tidak hanya mengangkat isu-isu penting tentang air dan hutan di Jembrana, tetapi juga menyampaikan pesan-pesan mendalam tentang keberlanjutan lingkungan dan peran masyarakat dalam menjaga alam mereka. Melalui layar tancap di festival Cerita Rasa, masyarakat Tukadaya diajak untuk lebih memahami dan menghargai kekayaan alam yang mereka miliki serta tantangan yang dihadapi dalam menjaga lingkungan tersebut.
Tema dua film tersebut menjadi landasan acara “Mengenal Tanaman di Sekitar Kita.” Anak-anak usia 6 hingga 14 tahun diajak mengidentifikasi tanaman yang sering mereka konsumsi, seperti jukut kelor, bayam, kangkung, kekaro, kelentang, dan daun singkong.
Setelah itu, mereka mengamati tanaman di sekitar rumah, meraba, mencium, dan merasakan jenis-jenis tanaman, termasuk kembang merak (Caesalpinia pulcherrima) yang dijadikan boreh. Anak-anak juga mengenal daun jeruk, pohon anggur, dan sirih.
Setelah sesi pengamatan, mereka membawa beberapa jenis daun dan menuliskan pertanyaan dalam peta pikiran. Kelompok yang menulis tentang daun sirih menemukan penggunaannya dalam porosan untuk canang sari yang kemudian digunakan untuk persembahyangan, sementara kelompok yang menulis tentang puring menemukan bahwa tanaman tersebut digunakan juga sebagai porosan dalam canang sari.
Salah satu kegiatan yang menarik dalam Festival Cerita Rasa 2024 adalah Bioskop Mini, sebuah inisiatif yang dirancang khusus untuk membawa suasana bioskop ke tengah-tengah anak-anak di Desa Tukadaya.
Desa Tukadaya, yang terletak 100 km dari bioskop terdekat di Denpasar atau Badung, adalah tantangan aksesibilitas yang signifikan dalam hal hiburan bioskop. Bagi anak-anak di desa ini, kesempatan untuk menikmati pengalaman bioskop sungguhan mungkin hanya akan muncul ketika mereka memiliki kesempatan untuk pergi ke kota, suatu hal yang mungkin terjadi bertahun-tahun lagi.
Anak-anak yang hadir di Bioskop Mini memiliki kesempatan untuk memilih film yang mereka sukai dari berbagai pilihan yang telah disediakan untuk umur mereka. Mereka juga harus memilih tempat duduk yang mereka inginkan, dan ingin duduk dekat dengan siapa. Proses memilih ini juga merupakan bagian dari pendidikan mereka dalam membuat keputusan yang baik dan menghargai pilihan yang tersedia. Untuk mendapatkan tiket, mereka mengantri dengan tertib, sebuah pelajaran tentang etika sosial yang penting untuk ditanamkan sejak dini.
Ketika mereka duduk untuk menonton film, suasana Bioskop Mini menciptakan pengalaman yang nyaris mirip dengan di bioskop sungguhan. Anak-anak belajar untuk duduk dengan tenang dan menghargai ruang bersama, sambil menikmati cerita yang diproyeksikan di layar besar. Setelah selesai menonton, mereka diberi kesempatan untuk berdiskusi tentang cerita yang mereka saksikan. Diskusi ini tidak hanya meningkatkan pemahaman mereka tentang cerita dan karakter, tetapi juga mengembangkan kemampuan dan kebiasaan berbicara mereka.
Pengenalan ulang terhadap karya-karya sastra Bali klasik menjadi krusial dalam kehidupan masyarakat Bali, tidak hanya sebagai tuntunan kehidupan sehari-hari tetapi juga sebagai panduan spiritual yang melengkapi upacara-upacara sebagai bagian Panca Gita, yaitu Mantra, Genta, Kidung, Gamelan, dan Kentongan.
Kegiatan pengenalan sastra Bali klasik ini berlangsung dalam bentuk pelatihan singkat yang dimaksudkan untuk memantik minat anak-anak dan remaja. Program ini diisi oleh pak Putu Suaha dari banjar Berawantangi Taman, Tukadaya, dan pak Ketut Subandi dari banjar Moding, Desa Candikusuma. Pak Suaha menekankan bahwa dalam sastra Bali banyak pelajaran yang dapat dijadikan tuntunan hidup. “Seperti pesan dalam Pupuh Ginanti. Kawruhe luir senjata, Ne dadi perabotan sai, Kaanggen ngaruruh merta, Saenun ceninge ceninge urip. Bahwa ilmu pengetahuan dan keterampilan adalah senjata utama untuk menyambung hidup. Akan selalu kita butuhkan selama kita masih bernafas. Main gim-gim di hape boleh, tapi coba juga gunakan hape untuk belajar metembang, banyak contoh bisa dicari di YouTube misalnya. Pasti akan bermanfaat,” tambah pak Suaha.
Di sisi lain, pak Subandi menyatakan kesiapannya untuk mendampingi anak-anak dalam belajar matembang sastra Bali. “Saya bukan penembang yang hebat, tapi saya punya keinginan untuk belajar. Mari luangkan waktu, buat jadwal rutin untuk kita belajar bersama. Pokoknya saya siap mendampingi. Nah bantes kati juari mekidung di nuju pujawali di pura. Tujuan pang juari, sing perlu juara,” tegas pak Subandi.
Malam festival Cerita Rasa terasa hangat dengan kehadiran masyarakat dari luar desa Tukadaya yang turut meramaikan acara. Umpan balik mereka yang positif dan penuh apresiasi terhadap pentingnya kegiatan ini menjadi dorongan bagi Cerita Rasa untuk terus konsisten. Festival ini telah menunjukkan potensinya sebagai lebih dari sekadar acara biasa; ia menjadi sebuah platform yang memperkaya jiwa dan pengetahuan komunitas secara holistik.
Dukungan dari berbagai pihak sangat diharapkan untuk memastikan keberlanjutan festival ini di tahun-tahun mendatang. Dengan keterlibatan dan kontribusi semua pihak, Festival Cerita Rasa dapat terus menginspirasi dan membangkitkan semangat gotong royong dalam masyarakat. Bersama-sama, kita bisa menjadikan Cerita Rasa sebagai wadah untuk melestarikan dan mengembangkan budaya serta pengetahuan lokal yang berharga.
Akhir pekan antara perayaan Galungan dan Kuningan, pada tanggal 5 dan 6 Agustus 2023, Sanggar Bali Tersenyum kembali dengan program Festival Cerita Rasa. Sebagai inisiatif ruang literasi bagi anak-anak sekitar; berkumpul dan mendorong mereka untuk membaca, bercerita, menggambar, mengenal kuliner khas pedesaan hingga membuat kerajinan.
Tahun 2019 merupakan awal Bali Tersenyum mengundang anak-anak datang dan berkegiatan dengan menyediakan buku-buku bacaan dan peralatan menggambar dan mewarnai. Salah satu yang sering datang adalah Dedek, diajak oleh kakaknya Juni. Ketika itu Juni sudah kelas 4 SD sedangkan Dedek belum bersekolah.
Dedek adalah anak yang selalu ceria, aktif dan ceplas-ceplos. Ruang seperti Sanggar ini menjadi alternatif tempatnya bermain, selain interaksi di rumah, di sawah dan sekitar desa bersama teman sebaya. Usia mereka mulai 7 hingga 13 tahun. Mereka bersekolah di tempat yang berbeda. Walaupun begitu, dalam kesehariannya mereka bermain bersama-sama karena rumah mereka berdekatan.
Saat kabar Festival Cerita Rasa kembali digelar kami sebarkan seminggu sebelumnya, Dedek sangat aktif datang menanyakan apa yang bisa dia lakukan saat festival. Dia juga menjadi penggerak, mengajak teman-teman sepermainannya untuk ikut datang. Ini membuat kami merasa bersemangat juga, karena merasa apa yang kami lakukan di halaman rumah, dapat memantik semangat dan antusiasme. Mungkin mereka hanya menganggap acara ini tempat bermain saja. Namun kita tahu, bahwa ruang-ruang literasi apapun bentuknya sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan anak-anak.
Saat kami masih menyiapkan peralatan dan waktu pembukaan masih beberapa jam lagi, mereka datang beramai-ramai menggunakan sepeda sambil tertawa-tawa riang.
“Pak Dek, jam kudo mulai?” teriak Dedek dari atas sepedanya.
“Jam dua!” jawab kami.
“Men keto kal mulih malu.”
“Dini gen melali, sambila maco buku.” jawab saya mengarahkan mereka ke teras, tempat rak buku disiapkan.
Mereka masih punya serentetan pertanyaan. Apakah boleh ikut menggambar seperti tahun lalu? Bolehkah mengajak teman-teman yang lain? Apakah ada hadiah? Jawaban dari kami adalah ya dan boleh untuk pertanyaan mereka. Karena acara Festival Cerita Rasa adalah hadiah kami untuk mereka.
Acara pun dimulai jam dua siang, dengan pembukaan pameran foto Suryagrafi. Dedek dan teman-temannya duduk di deretan kursi paling depan. Made Birus selaku penggagas Festival Cerita Rasa membuka pameran dan memberikan penjelasan mengenai pameran tersebut. Foto-foto yang dipamerkan merupakan hasil dari program rekam matahari, yang menggunakan metode kamera lubang jarum atau pinhole. Teknik ini mengandalkan prinsip dasar penangkapan cahaya tanpa lensa, menghasilkan gambar-gambar yang unik dan penuh karakter.
Anak-anak diberikan kesempatan pertama memasuki ruang pameran. Mereka mendapat penjelasan bagaimana proses pengambilan foto suryagrafi, dan bagaimana bentuk dan cara kerja kamera lubang jarum. Walau mungkin belum paham benar dengan apa itu suryagrafi atau kamera lubang jarum, Dedek dan teman-temannya menikmati foto-foto yang tertempel di dinding. Mereka berusaha membaca keterangan foto dan mengenali setiap objek foto dan lokasinya. Sepuluh foto yang dipamerkan tersebut diambil di beberapa wilayah Yogyakarta, Jawa Barat dan Bali. Fotografer yang terlibat adalah Nur Hasanah Sawil dari Jawa Barat; Irman Ariadi dari Yogyakarta; Stanis Obeth Hollyfield, Syafiudin Vifick, Ivy Sudjana dan Adyatma, serta Made Suarbawa dari Bali.
Saat para pengunjung festival lain menikmati pameran foto, anak-anak diajak untuk menggambar. Anak-anak berebut mengambil kertas gambar, pensil, penghapus dan krayon. Pak Mang Tirta dari panitia festival memberitahukan, bahwa acara menggambar hari ini dan besok sedikit berbeda. Mereka diberikan contoh gambar yang terpotong-potong, dan untuk membentuk sebuah gambar mereka harus melempar dadu. Cara unik ini awalnya membuat mereka bingung, namun setelah diberitahu caranya mereka dengan antusias mengikuti. Dedek bahkan meminta hingga tiga kertas gambar. Katanya, selain menggambar menggunakan dadu, dia ingin menggambar bebas. Sejenak dia memisahkan diri dari kelompok. Setelah dicari-cari ternyata dia sedang menggambar logo Bali Tersenyum yang ada di tembok. Dia kembali sambil tertawa-tawa dan memperlihatkan hasil gambarnya.
Setelah menggambar usai, anak-anak diarahkan untuk pulang ke rumah masing-masing dan kembali lagi untuk acara sore, yaitu ruang literasi sastra Bali dan menonton film. Maka tinggal kami yang dewasa duduk melingkar dengan kursi plastik biru yang kami pinjam dari inventaris Banjar Berawantangi Taman.
Obrolan orang dewasa hari itu berkisar cerita-cerita dari mereka yang ikut duduk. Pertama kami menggosipkan tentang literasi dan keluh kesah di antaranya, bersama teman-teman senior Yayasan Kertas Budaya Indonesia. Tentu saja kami diarahkan untuk tidak bergosip. Lakukan saja, itu akan membahagiakan. Dari pada menunggu orang lain untuk melakukannya, karena menunggu itu membosankan.
Kemudian cerita kami berpindah ke Bali Utara ketika Kardyan Narayana dan Dian Suryantini bergabung. Sejurus kemudian, obrolan berpindah tentang pariwisata berkelanjutan, pelestarian bambu, terumbu karang, bakau dan sekitarnya, saat teman baru kami Nyoman Gerry dari Sea Community bergabung bersama kami. Ada tukar cerita dan tukar kontak WA agar mereka bisa ngobrol lebih jauh mengenai hal-hal yang menarik bagi mereka masing-masing.
Sore hari setelah acara dilanjutkan dengan literasi sastra Bali. Dedek dan teman-temannya duduk di kursi yang telah disediakan dan terlihat ingin tahu. Komang Sutirtayasa alias Pak Mang Tirta, salah satu pengasuh Sanggar Bali Tersenyum muncul membawa gitar dan duduk di panggung. Ia bertanya, apakah ada yang mau menyanyi? Ternyata tawaran ini mengagetkan Dedek dan teman-temannya. Setelah saling tunjuk, akhirnya Dedek dan dua temannya naik ke atas panggung menyanyikan Sekar Rare atau lagu-lagu anak Bali yang bernada ceria. Ada Putri Cening Ayu, Made Cenik, Ketut Garing hingga Meong-meong. Gelak tawa salah nada dan lupa lirik mewarnai aksi panggung ini.
Usai menyanyi, panggung kembali diisi dengan satua Bali. Saya membawakan kisah Be Jeleg Tresna Telaga, yang mengisahkan tiga ekor be jeleg atau ikan gabus yang tidak pernah meninggalkan telaga tempat mereka tinggal, hingga Tuhan mengabulkan doa mereka untuk mengirimkan hujan dan membuat telaga dipenuhi air kembali. Pak Mang Tirta membawakan cerita I Kedis Lanjana, yang mengisahkan bagaimana Lanjana si burung kecil bersiasat menghadapi I Muun si burung besar yang serakah dalam mencari makan, dan menindas burung-burung kecil.
Ruang literasi sastra Bali kemudian dilanjutkan dengan memperkenalkan pupuh yang dibawakan oleh Pak Putu Suaha, seorang pegiat sastra Bali. Pak Putu mengajak dan mengharapkan anak-anak untuk mengenal dan berminat belajar magending Bali mulai dari sekar rare, geguritan, kekidungan hingga kekawin. Pak Putu juga menyanyikan salah satu pupuh.
Malam hari diisi dengan pemutaran. Para penonton datang berbondong-bondong bersama anak dan keluarga mereka. Acara ini adalah yang paling dinanti masyarakat tetangga di sekitar Sanggar. Terpal plastik dibuka di depan layar, sementara kursi-kursi diatur di bagian belakangnya. Tentu saja Dedek dan teman-temannya duduk paling depan, bersantai sambil rebahan. Ada empat judul film pendek yang diputar, yang merupakan program dari Minikino “Indonesia Raja 2023: Yogyakarta & Jawa Tengah”.
Salah satu film berjudul “SERANGAN OEMOEM” paling membuat anak-anak terkesan. Mungkin karena filmnya berupa animasi yang akrab dengan mereka, karakter dalam film itu juga adalah anak-anak. Film ini berkisah tentang usaha anak-anak Yogyakarta yang membujuk Naga Antaboga, untuk membantu Kota Yogyakarta dari bencana serangan monster. Ada satu kata yang disebut oleh sang naga yang mendadak populer disebut-sebut oleh anak-anak, yaitu ‘Emoh’.
Hari kedua festival, Dedek dan teman-temannya lebih antusias lagi datang. Sanggar Bali Tersenyum benar-benar menjadi tempatnya bermain. Hari kedua memang dimulai sejak jam 10 pagi dan khusus sesi menggambar bagi anak-anak. Yang menjadi catatan dan pertanyaan besar bagi kami, kenapa anak-anak selalu menganggap apa yang mereka gambar “jelek”? Kami menghibur diri dengan mengatakan pada anak-anak bahwa, acara menggambar ini bukan untuk membuat gambar yang bagus atau jelek. Ini adalah acara bersenang-senang, menuangkan apapun yang ingin mereka gambar, warna apapun yang ingin mereka goreskan. Merdeka menggambar!
Di antara anak-anak, hadir juga teman-teman mahasiswa Universitas Udayana yang sedang melakukan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Tukadaya. Kehadiran mereka memberikan secercah perspektif bagi anak-anak tentang orang Indonesia. Karena mereka berkesempatan berkenalan dengan kakak-kakak dari berbagai daerah. Ada dari Papua, Sumatra, Jawa, Sulawesi dan tentunya Bali.
Sambil menunggu acara selanjutnya yaitu Pentas Cerita, Dedek dan teman-teman serta kakak-kakak mahasiswa menikmati lebura. Jajo (jajan) Lebura, merupakan sisa makanan yang dihasilkan dari persembahan yang diolah kembali dengan cermat. Perpaduan kue kering dari berbagai jenis, pisang, dan kadang ditambahkan gula dan kelapa parut. Tujuannya bukan sekedar untuk mengurangi limbah makanan seperti di zaman modern ini, ngelebur adalah tradisi menikmati anugerah Tuhan.
Pentas Cerita dimulai jam 4 sore. Panggung ini merupakan ruang untuk memberikan kesempatan dan keriaan bagi anak-anak untuk mencoba bercerita atau membaca cerita dalam berbagai bentuk, di depan teman-temannya. Kali ini ada Nanda dan Puspa yang menjadi pembawa acara sekaligus tampil membaca puisi. Nanda yang belum pernah beraksi di depan orang banyak mengatakan tangannya dingin dan gemetar sebelum tampil. Namun semakin sering bolak balik naik turun panggung, rasa dingin itu hilang perlahan. Nanda jadi tambah pede saat ia kemudian membacakan cerita ditemani Puspa yang membacakan puisi. Selain mereka, ada pula Vira, Lina yang sama-sama membacakan dongeng dari buku dongeng karya maestro dongeng Bali, Made Taro.
Pentar Cerita disiapkan sebagai panggung terbuka, yaitu terbuka bagi siapapun yang ingin tampil. Selain ditonton anak-anak dan orang tuanya, hari itu hadir pula mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur. Mereka adalah Mahasiswa KKN yang sedang menjalankan programnya di SD Negeri 4 Melaya. Kedatangan mereka, juga sekaligus menyerahkan sejumlah buku bacaan, yang menambah koleksi Rumah Baca Bali Tersenyum.
Hari kedua festival ditutup dengan pemutaran film. Kali ini yang diputar adalah enam judul film yang tergabung dalam Indonesia Raja 2023: Bali. Program ini adalah kemasan Bali yang disusun oleh Kardian Narayana dengan tajuk “Bukan Fiksi” yang mengangkat topik kekerasan dan lingkungan.
Salah satu film berjudul @ItsDekRaaa, adalah film produksi Sanggar Bali Tersenyum, yang menampilkan anak-anak Desa Tukadaya, sebagai pemain. Ada juga film lainnya yang merupakan film Animasi berjudul “Anak Anak Milenial” produksi Film Sarad, melibatkan Puspa Dewi, salah satu anak asuh Sanggar Bali Tersenyum sebagai pengisi suaranya.
Kami merasakan bahwa Dedek dan teman-temannya sangat senang mengikuti festival. Bahkan sehari setelahnya, saat kami membongkar layar dan merapikan sarana lain, Dedek datang bersama dua temannya. Kami membekali mereka dengan kertas-kertas puisi, meminta untuk mereka membaca dan menyiapkan diri untuk tampil pada Festival Cerita Rasa 2024. Sampai Jumpa Lagi Semeton.
Festival Desa Cerita Rasa pertama tahun 2022 telah terlaksana dengan baik pada Sabtu, 30 Juli 2022 mulai pukul 12:00 hingga 21:00 wita. Kegiatan ini mendapat tanggapan yang sangat positif dari lapisan masyarakat Tukadaya dan sekitarnya, termasuk dari media. Sebagai sebuah rintisan festival di pedesaan untuk merayakan cerita, cita rasa, dan mempromosikan kepedulian lingkungan, budaya, dan kemanusiaan, semangat cerita rasa akan dijaga untuk dapat hadir kembali pada tahun 2023.
Seluruh rangkaian acara berjalan dengan baik sebagaimana daftar acara yang telah direncanakan yaitu; Presentasi Kuliner, Pelatihan Fotografi, Belajar Melukis , Pentas Cerita dan Pemutaran Film. Publikasi di media online dapat diakses di nusabali.com, balebengong.id, tatkala.co dan sebagainya, yang bisa ditemukan di pencarian Google dengan kata kunci “festival tukadaya” atau “cerita rasa festival 2022”
Presentasi Kuliner Pembuatan Minyak Kelapa.
Keberadaan lontong serapah sudah mulai jarang ditemukan di Jembrana. Hal ini disebabkan oleh sudah jarangnya pembuatan minyak kelapa tradisional dilakukan oleh masyarakat setempat. Seperti kita tahu, minyak kelapa sudah di gantikan oleh minyak sawit kemasan. Dalam kegiatan ini kami memperkenalkan dan melibatkan anak-anak dalam proses awal pembuatan minyak kelapa.
Pelatihan Fotografi, Memotret Tanpa Kamera.
Kamera sudah lekat dengan remaja kita, karena setiap smartphone sudah dilengkapi dengan kamera yang bagus. Hal itu mendorong pelaksanaan pelatihan fotografi bagi remaja, guna memperkenalkan dasar-dasar fotografi, memperkenalkan profesi fotografer dan bagaimana usaha foto & video itu berjalan. Kegiatan ini diikuti oleh delapan peserta, dimana 85% peserta berasal dari desa Tukadaya.
Melukis Bersama
Menggambar bersama diikuti oleh tidak kurang dari tiga puluhan anak. Mereka datang dari beberapa banjar di Desa Tukadaya, dan ada juga dari desa sekitarnya. Program melukis ini merupakan ruang bermain dan belajar bagi anak-anak. Kegiatan ini, lebih ditujukan sebagai momen beraktivitas bersama, baik itu kerjasama antar anak-anak dan juga pendampingan oleh orang tua. Kegiatan melukis ini, ditemani seniman rupa asal Tukadaya, Wayan Wasudewa (WSDW).
Pentas Cerita.
Mesatua atau mendongeng merupakan pola penanaman nilai-nilai kehidupan yang sangat penting di dalam keluarga. Menampilkan Ayu Nila yang membaca cerita dari buku karya Made Taro, dan Melany yang mendongeng tentang balas budi semut pada burung merpati.
Program ini ditujukan untuk memancing kembalinya minat orang tua bercerita atau mendongeng untuk anaknya. Yang juga semoga dapat meningkatkan minat baca di dalam keluarga-keluarga pedesaan.
Pemutaran Film.
Film yang diputar @ItsDekRaaa karya Made Suarbawa, Pekak Kukuruyuk karya Agung Yudha, dan Besok Saya Tidak Masuk Sekolah karya Oka Sudarsana.
Malam itu, puluhan orang memadati halaman Rumah Baca Bali tersenyum untuk menyaksikan wajah anak mereka, tetangga, dan alam desanya tampil di layar lebar. Ada sentuhan rasa yang berbeda dalam tatapan mata mereka.
Harapan dan Terimakasih
Kami segenap pengasuh Rumah Baca Bali Tersenyum mengucapkan terimakasih atas dukungan semua pihak dan berharap bahwa kegiatan rintisan ini akan bisa kita lakukan kembali sebagai sebuah kegiatan bersama. Bersama-sama kita akan mebangun ruang untuk saling mendengar, merasakan, berbagi dan mendokumentasikan cerita, rasa dan peristiwa. Sampai jumpa lagi tahun 2023.
Memotret sudah menjadi bagian keseharian kita yang memiliki smartphone berkamera. Komputer kecil dengan berbagai fasilitas manipulasi gambar, seakan tidak bisa lepas dari genggaman. Siapa yang sekarang bisa pergi lebih dari delapan jam tanpa smartphone?
Melihat fenomena tersebut, Cerita Rasa Festival 2022 menghadirkan pelatihan fotografi dasar dan pengenalan profesi fotografer. Program ini ditujukan bagi remaja pedesaan yang mulai tertarik dengan fotografi ataupun mereka yang sudah mempraktekkan fotografi, namun ingin belajar bersama.
Setiap pemilik smartphone berkamera akan otomatis segera menjadi pemotret. Mereka akan menggunakan fasilitas kamera di gadget mereka sebagai sebuah hal yang biasa saja, serupa dengan berbagai aplikasi yang ada di dalam smartphone mereka. Mengambil foto hanya untuk bersenang-senang, terutama ketika wajah mereka ada di dalam foto. Karena itu, swafoto menjadi favorit walaupun masih banyak yang malu-malu. Foto-foto itu kemudian dibagikan untuk mendapatkan perhatian dari teman-teman maya mereka di media sosial.
Dalam pelatihan fotografi Cerita Rasa yang berlangsung pada tanggal 30 Juli 2022 di Rumah Baca Bali Tersenyum Jembrana, para peserta dihantarkan untuk mengetahui unsur-unsur yang membuat fotografi itu ada. Peserta diperkenalkan pada prinsip dasar fisika yang membentuk kamera hingga menghasilkan gambar dan sisi estetik yang menjadi sisi indah dari fotografi.
Kesadaran Visual
Kemudahan yang disuguhkan teknologi digital, seringkali membuat kita memotret tanpa pertimbangan terlebih dahulu, apa hasil yang diinginkan. Memotret apa saja, kemudian dihapus atau mengeluh memori handphone penuh.
Sebagai pemantik kesadaran visual, peserta diajak untuk belajar mengamati dan membaca sebuah foto kemudian mengungkapkan rekaman visual yang mereka temukan. Selain itu, peserta melakukan observasi objek foto dan melakukan pemotretan tanpa kamera, untuk kemudian melakukan presentasi kecil tentang foto imajiner yang mereka buat.
Untuk memberikan pengalaman praktis, peserta diberikan kesempatan mengeksplorasi kamera DSLR. Mereka mengalami gambar under dan over exposure, melihat arah cahaya, mencoba komposisi dan framing.
Semua Mulai Dari Nol
Persoalan paling banyak yang ditemukan dari peserta adalah rasa khawatir bahwa mereka tidak bisa, tidak mengerti yang akhirnya tidak bersedia mencoba sesuatu yang baru. Hal ini kelihatannya menjadi sesuatu yang lebih penting untuk dipecahkan, ketimbang mempelajari cara menggunakan gadget canggih.
Beruntunglah ada dua narasumber yang memberikan pandangan dan pengalaman, bagaimana mereka memulai masuk ke dunia fotografi dan membuka usaha foto dan video mulai dari nol. Mereka adalah Dwi Artawan pemilik Relief Studio dan Komang Triadi pemilik Chandra Photography.
Dwi menceritakan bahwa masuk ke dunia foto dan video bukan cita-cita atau tujuan. Dia pergi merantau ke Denpasar dengan tujuan pasti mencari pekerjaan, tapi entah pekerjaan apa. Kemudian dia diterima bekerja di sebuah studio jasa foto dan video sebagai crew. Atas dorongan pemilik studio akhirnya Dwi “terpaksa” belajar di lapangan.
Membuka usaha jasa foto dan video di Jembrana juga bukan sebuah cita-cita. Hanya merasa tidak punya keterampilan lain ketika diwajibkan pulang kampung, akhirnya memberanikan diri menjual jasa foto dan video di seputaran Kota Negara.
“Beruntung sampai saat ini, masih mendapat kepercayaan dari banyak pihak di Jembrana”. kata Dwi.
Cerita lain dari Komang Triadi, atau biasa dikenal sebagai Mang Tri. Dia menceritakan pengalamannya belajar fotografi sejak jaman analog. Untuk belajar fotografi ketika itu, dibutuhkan serangkaian training khusus hingga memperoleh sertifikat dan berhak menyandang “gelar” fotografer. Dalam training tersebut, dia harus mempelajari teknik kamera, tata cahaya, hingga teknik kimia cuci-cetak foto.
Menurut Mang Tri, dalam era foto digital saat ini kita cukup menguasai prinsip dasar kamera, dan hendaknya lebih banyak melakukan praktek dan diskusi karya. Setiap jepretan sudah bisa langsung dilihat dan dibahas bersama komunitas.
“Tidak seperti jaman dulu harus menunggu antri cuci film dan membuat contact print dulu, baru bisa tahu hasil fotonya.” ungkap Mang Tri.
Dari Nol Menuju 360
Sebuah keyakinan mesti ditumbuhkan, bahwa pembelajaran tidak boleh berhenti ketika sesi pelatihan selesai. Cerita Rasa menawarkan pada para peserta untuk melanjutkan masa belajar, dalam sebuah proyek fotografi bersama, satu tahun ke depan.
Selain melibatkan peserta yang telah hadir dalam pelatihan, Cerita Rasa juga mengundang peminat fotografi khususnya di Jembrana untuk menerjunkan diri dalam proyek ini. Proyek untuk membuat sebuah cerita foto di desanya masing-masing, dengan target bisa dipamerkan dalam Cerita Rasa Festival 2023.